Selasa, Maret 04, 2008

Belum Cukupkah Pertolongan-Ku Bagimu? (The First)

“dimana Engkau, Tuhan?”

“tolonglah kami, Tuhan!”

“selamatkanlah kami, Tuhan!”



“Ikutlah bersama kami, Pak!” kata seorang pemuda berpeci putih. Terlihat ia sedang tergesa-gesa sambil menggendong anaknya di tangan kanan dan menuntun istrinya di tangan yang lain. Tidak terlihat mereka membawa barang-barang berharga milik mereka. Mungkin di saat sekarang, yang paling berharga adalah nyawa yang harus diselamatkan.

“Tidak nak, saya akan tetap di sini” jawab lelaki tua itu. Jenggotnya yang putih seraya terangkat ketika ia tersenyum kepada pemuda itu.

“Tapi air sebentar lagi akan naik, Pak!” kata pemuda itu setengah teriak, menegaskan bahwa ia tidak akan mengulangi permintaannya lagi.

“anak muda, sekarang engkau pergilah! Bawalah serta istri dan anakmu. Selamatkanlah mereka!” jawab lelaki tua itu yang sekarang beranjak duduk di kursi kesayangannya.

“Aku mohon, ikut lah bersama kami menyelamatkan diri” sorot matanya yang seakan berkaca, seperti mencerminkan keadaan isi hatinya pada saat itu.

“aku akan tetap di sini, karena aku yakin akan adanya pertolongan Tuhan” lanjutnya. “aku yakin Tuhan pasti mendengarku, dan aku yakin Dia akan memberikan pertolongannya dari musibah ini”

Mendengar hal itu, langsung saja pemuda dan keluarganya itu pergi tanpa basa-basi lagi untuk menyelamatkan diri. Sementara tatapan si anak yang sedang digendongnya seakan tak melepaskan pandangannya dari lelaki tua yang dijumpainya barusan.

Sementara air telah memasuki daerah itu dan akan semakin meninggi. Terlihat kekacauan dimana-mana. Orang-orang lalu-lalang berlarian tak terkendali. Beberapa rumah rata dengan tanah. Beberapanya lagi rusak parah akibat goncangan gempa. Hanya terlihat sebuah bangunan yang masih utuh pagi itu. Sebuah masjid, masih kokoh dan berdiri tegak tanpa rusak sedikitpun. Meski kini air telah menggenangi lantainya dan membasahi karpetnya. Setinggi mata kaki. Mata kaki Haji Dawod, yang sedang duduk di teras depan masjid itu dengan ditemani oleh kursi kesayangannya. Wajahnya sama sekali tidak menampakkan ketegangan dan ketakutan seperti yang sedang dialami oleh para penduduk yang berlarian didepannya. Mulutnya senantiasa bertasbih membaca kalimat-kalimat Dzikir dan sesekali melantunkan ayat-ayat suci Al Quran. Bukan teriakan-teriakan yang sekarang terdengar lantang diseluruh penjuru negeri itu.

Ia masih duduk diatas kursi kesayangannya itu. Kursi yang selalu menemaninya tatkala ia berkutbah dihari jumat. Atau hanya sekedar tempat istirahatnya dikala ia menunggui masjid itu dimalam hari demi membuat penduduk setempat terjaga disaat sahur, dan meneriakkan Imsyak menjelang subuh pada bulan Ramadhan.

Kini dihadapanya hanyalah genangan air yang semakin menutupi jalan-jalan yang sedang dipakai orang-orang berlarian. Beberapa jatuh dan terinjak-injak. Beberapa wanita menangis terisak-isak karena kehilangan anaknya. Beberapa anak menangis karena tertinggal oleh keluarganya. Suara deru mesin kendaraan seakan tak mau kalah dengan suara jeritan orang-orang. Semuanya tergesa-gesa. Mobil dan motor saling menerobos membawa lari penumpang mereka tanpa sedikitpun memperhatikan keadaan sekitar. Tak banyak kendaraan yang dipakai pada saat itu. Hanya beberapa motor yang sempat digunakan pemiliknya. Dan sedikit mobil yang telah penuh sesak dengan bawaan yang ada didalamnya. Termasuk sebuah mobil yang tiba-tiba berhenti tepat di depan masjid yang sudah mulai tergenang.

Tak lama salah satunya terbuka dan nampak seorang gadis kecil turun dari kendaraan tersebut dan berlari menuju teras tempat dimana pak Dawod berada.

“kakek, ayo kita pergi dari sini!” pinta gadis kecil itu sambil menarik-narik tangan keriput pak Dawod yang tak lain adalah kakeknya sendiri. Terlihat ia terus berusaha untuk menjaga sepatunya yang kini basah terendam agar tidak terlepas dari kakinya.

“cepat ayah! Air sebentar lagi datang. Kita tidak bisa berlama-lama di sini” teriak seorang lelaki di belakang kemudi dari jendela mobilnya. Sementara istrinya sudah turun untuk menjemput Chalisa, gadis kecil itu. Dan berharap ayah mertuanya ikut serta bersamanya.

Melihat cucu kesayangannya, ia langsung tersenyum. Senyum yang indah. Senyum yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja. Senyum yang bisa memberi ketenangan di tengah kegalauan. Ia lalu membenarkan posisi peci putih yang sedang dikenakannya. Peci yang ia beli di Mekkah Al Mukaromah, ketika ia menunaikan ibadah haji beberapa tahun yang lalu bersama sang istri tercinta yang kini telah tiada.

Ia lalu mendekatkan wajahnya ke telinga gadis kecil itu tanpa beranjak dari tempat ia duduk. Seketika gadis kecil itu berlari sesaat setelah kakenya membisikkan kata-kata kepadanya. Ia berlari menghampiri ibunya yang sedang menuju teras dimana kakek dan gadis kecil itu berada.

“kakek tidak mau ikut sama kita bu. Katanya ia mau di sini saja.” Kata gadis kecil itu dengan polos sambil memeluk, berusaha menceritakan apa yang dibisikkan oleh kakeknya kepada ibunya. Bergegas wanita itu langsung menggendong anaknya dan menghampiri ayah mertuanya itu.

“aku tidak akan ikut dengan kalian!” seru pak Dawod, bahkan sebelum wanita itu sempat berbicara.

“aku akan tetap di sini saja” katanya yang kini sambil berdiri.

“tapi air bah sebentar lagi datang” kata wanita itu. “dan ayah tidak akan bisa selamat jika tetap di sini.” Lanjutnya, berusaha meyakinkan ayah mertuanya bahwa apa yang menjadi keputusannya adalah salah.

“tentu saja aku akan selamat, karena Tuhan Maha Mendengar. Dan aku yakin Ia sekarang sedang mendengarkan permohonanku, dan akan segera memberikan pertolongan-Nya untuk ku, untuk kita semua” jelasnya.

“tapi, ayah…”

Belum sempat wanita itu menyelesaikan perkataannya, lelaki tua itu segera masuk ke dalam masjid, dan meninggalkan wanita itu beserta anaknya di luar.

Kebingungan kini menghinggapi wajah wanita berjilbab kuning itu. Ia merasa heran atas keputusan yang diambil ayah mertuanya itu untuk tetap tinggal di dalam masjid, sementara musibah tak terbendung untuk segera terjadi. Kini ia pun tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk meyakinkan ayah mertuanya agar turut ikut bersamanya untuk menyelamatkan diri. Ia pun bergegas kembali ke mobil sambil menggendong si gadis kecil. Raut wajahnya menampakkan kesedihan, yang segera ditanggapi oleh suaminya yang kini sudah turun dari kendaraannya dengan perasaan sejuta pertanyaan tentang apa yang baru saja terjadi.

Terlihat raut wajah kecewa dari pria itu sesaat setelah istrinya menceritakan semua yang baru saja dialaminya. Pikirannya sudah bercampur dari berbagai macam perasaan yang ia sendiri tidak mampu untuk menjelaskan. Sebenarnya ia sudah terbiasa dengan sifat keras kepala yang dimiliki oleh ayahnya itu. Ia ingat betapa sabarnya dia pada saat beberapa bulan yang lalu, di saat ayahnya bersikeras untuk datang ke masjid setiap hari menjelang sahur hanya untuk membengunkan warga sekitar untuk melaksanakan salah satu sunnah puasa itu. Sebenarnya ia sering kali meminta ayahnya untuk tidak melakukan hal itu, mengingat umur ayahnya yang sudah tua. Ditambah lagi penyakit kambuhan yang belakangan ini dideritanya. Namun sekali lagi, sifat ayahnya yang keras kepala kerap kali membuatnya tak berdaya. Dan ia pun terpaksa memperbolehkan ayahnya untuk melakukan segala kegiatan-kegiatannya, meskipun sebenarnya ia tidak rela.

Tapi untuk saat ini, sepertinya ia tidak mempunyai toleransi lagi!

Setelah memerintahkan istri beserta anaknya untuk masuk ke dalam mobil, ia pun bergegas berlari menuju masjid untuk menjemput ayahnya yang berada di dalam. Sementara keadaan sekitar sudah semakin kacau tak terkendali. Genangan air juga mulai semakin meninggi. Teriakkan dan seruan untuk menyelamatkan diri menggema dimana-mana. Seperti memenuhi rongga di dalam telinga.

Terjadi perdebatan di dalam ruang masjid. Perdebatan klasik antara ayah dan anak. Perdebatan di tengah kekacauan. Tak jelas apa yang mereka bicarakan di dalam. Yang terlihat hanyalah gerak tubuh mereka berdua dari balik daun jendela yang berlafazkan nama Tuhan. Gerakan tubuh yang terlihat sangat kontras. Di satu sisi, seorang pria muda yang berekspresi dengan penuh keyakinan yang berapi-api. Di sisi yang lain, seorang kakek tua dengan ketenangan dan wibawanya yang sesekali menepuk bahu sang anak, berusaha untuk menenangkannya.

Untuk beberapa saat mereka berada di dalam sana, saat yang bagi orang lain sangat berharga untuk menyelamatkan nyawa mereka.

Sementara di dalam mobil, Chalisa dan ibunya semakin gelisah dengan keadaan sekitar. Mulut mereka tak henti-hentinya melantunkan doa kepada Sang Pencipta, berharap semua ini akan segera berakhir. Sebuah harapan yang sama dimiliki oleh hampir semua orang yang mengalami kejadian itu.

BUKK!!

Suara pintu mobil yang tertutup dengan keras. Terlihat seorang lelaki sudah berada di balik kemudi kendaraan itu. Lelaki yang sangat diharapkan oleh mereka berdua. Wajahnya muram, seperti kesedihan yang telah bercampur dengan kekesalan. Tetapi, sepertinya masih ada yang kurang

“bagaimana dengan ayah?” Tanya wanita berjilbab itu mewakili rasa keingin tahuannya. Tak terdengar jawaban dari lelaki itu. Yang terdengar hanyalah suara ban mobil yang berdecit dan deru mesin yang dipacu.

Sampai akhirnya mereka pun akhirnya pergi, untuk menyelamatkan diri.

Perasaan penasaran masih memenuhi isi kepala wanita itu, seraya terus menunggu jawaban atas pertanyaannya barusan. Tapi sepertinya semuanya mulai tampak jelas baginya. Terlihat dari wajah suaminya yang dibasahi oleh air mata yang seakan menjelaskan semuanya.



Dan mereka pun berlalu





- To Be Continued -

Tidak ada komentar: